Realitas Sosial Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) dalam Institusi Total di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Mataram
DOI:
https://doi.org/10.29303/resiprokal.v4i1.120Keywords:
Motif sosial, ABH, Masa Depan ABH, Institusi TotalAbstract
Kajian ini mengangkat isu masalah anak, dengan fokus kajian Anak Berhadapan Hukum (ABH). Tujuan penelitian adalah untuk memaparkan konstruksi sosial ABH dalam kehidupan di Institusi Total Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Mataram meliputi proses ABH saat mengungkapkan alasan memperoleh status ABH, motif apa yang mendorong anak untuk terjerat dalam tindakan yang mengakibatkan anak berhadapan dengan hukum, serta konsep tentang kehidupan ABH saat ini dan tentang rencana anak untuk membangun masa depan. Penelitian ini dilakukan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Mataram menggunakan metode kualitatif dan dianalisis dengan menggunakan beberapa teori dari perspektif fenomenologi yaitu teori dari Peter L. Berger dan Alfred Schutz. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kerawanan Anak Berhadapan dengan Hukum disebabkan oleh disfungsi pola asuh keluarga dan pengaruh dominan dari lingkungan sosial. Status sebagai ABH telah membuat anak merasa malu/kecewa/dan menyesal atas perilaku menyimpang yang telah dilakukan. ABH meyakini bahwa keluarga dapat menerima kehadirannya kembali setelah menjalani pembinaan di LPKA, namun menyadari bahwa masyarakat akan memberikan stigma negatif terhadap statusnya sebagai ABH. Proses sosialisasi ABH dilakukan oleh LPKA Mataram melalui pembinaan kepribadian, pembinaan kemandirian, dan pendidikan. Proses sosialisasi telah membuat ABH belajar dari pengalamannya saat ini, ABH ke depan memiliki harapan berupa keinginan untuk melanjutkan Pendidikan, dapat bekerja dan mandiri, dan menjadi pribadi yang lebih baik. Rekomendasi dari penelitian ini yaitu (1) perlu adanya upaya pencegahan preventif melalui pembentukan komunitas sosial alternatif di tingkat desa atau RT dengan harapan dapat meminimalisir potensi terjadinya ABH, (2) pembinaan dan penguatan peran dan fungsi keluarga sebagai institusi utama untuk mewujudkan rumah dan lingkungan keluarga yang ramah anak melalui bansos dengan pelaksanaan program terpadu, (3) LPKA Mataram dalam menjalankan perannya sebagai institusi total harus mengevaluasi pelaksanaan program-program khususnya yang berkaitan dengan pembinaan kerohanian agar disesuaikan secara lebih proporsional mengingat latar belakang agama ABH yang berbeda, (4) memperkuat peran tokoh masyarakat, tokoh agama, dan tokoh adat untuk merevitalisasi nilai-nilai kearifan lokal yang selama ini ditinggalkan sebagai rekayasa sosial untuk mengendalikan perilaku masyarakat, termasuk anak-anak.